Kota Sampit

Kota Sampit

Sampit (disingkat: SPT[1]) adalah ibu kota Kabupaten Kotawaringin Timur di Kalimantan Tengah, Indonesia. Sampit merupakan salah satu permukiman tertua di Kabupaten Kotawaringin Timur, nama kota ini sudah ada disebut di dalam Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 maupun di dalam Hikayat Banjar yang bagian terakhirnya ditulis pada tahun 1663. [2] Pada tahun 2001, di kota ini terjadi kerusuhan etnis antara suku Madura dengan Dayak. Dalam kerusuhan tersebut, lebih dari 400 orang tewas dan 40.000 orang harus mengungsi.

Posisi strategis
Sampit sebagai ibu kota Kabupaten Kotawaringin Timur merupakan salah satu kota terpenting di Provinsi Kalimantan Tengah. Di samping karena secara ekonomis merupakan daerah kabupaten yang relatif maju juga karena terletak di posisi yang strategis.
Dilihat dari peta regional Kalimantan Tengah, kota Sampit sebelumnya terletak di tengah-tengah dan ini menyebabkan posisinya sangat strategis. Misalnya, warga dari Buntok mau ke Pulau Jawa, maka akan lebih dekat jika melewati Kota Sampit daripada harus ke Kota Banjarmasin. Begitu pun kalau dari Palangkaraya, Kuala Pembuang, maupun Kasongan. Jadi, posisi strategis tersebut akan meningkatkan keunggulan komparatif pelabuhan laut Sampit yang dimiliki daerah ini, terutama akan menarik perekonomian dari kabupaten yang ada di sekitar wilayah Kotawaringin Timur.
Pada tanggal 1 Mei 1859 pemerintah Hindia Belanda membuka pelabuhan di Sampit

Batang danum kupang bulan

Kota Sampit terletak di tepi Sungai Mentaya. Dalam Bahasa Dayak Ot Danum, Sungai Mentaya itu disebut batang danum kupang bulan (Masdipura; 2003). Sungai Mentaya ini merupakan sungai utama yang dapat dilayari perahu bermotor, walaupun hanya 67 persen yang dapat dilayari. Hal ini disebabkan karena morfologi sungai yang sulit, endapan dan alur sungai yang tidak terpelihara, endapan gosong, serta bekas-bekas potongan kayu.

3 dan 1

Hingga kini, yang masih menjadi pertanyaan banyak orang adalah asal kata Sampit itu sendiri.
Versi Pertama menyatakan bahwa orang pertama yang membuka daerah kawasan Sampit pertama kali adalah orang yang bernama Sampit yang berasal dari Bati-Bati, Kalimantan Selatan sekitar awal tahun 1700-an. Sebagai bukti sejarah, makam “Datu” Sampit sendiri dapat ditemui di sekitar Basirih. “Datu” Sampit mempunyai dua orang anak yaitu Alm. “Datu” Djungkir dan “Datu” Usup Lamak. Makam keramat “Datu” Djungkir dapat ditemui di daerah pinggir sungai mentaya di Baamang Tengah, Sampit dengan nisan bertuliskan Djungkir bin Sampit. Sedangkan makam “Datu” Usup Lamak berada di Basirih.
Menurut sumber lainnya, kata Sampit berasal dari bahasa Tionghoa yang berarti “31” (sam=3, it=1). Disebut 31, karena pada masa itu yang datang ke daerah ini adalah rombongan 31 orang Tionghoa yang kemudian melakukan kontak dagang serta membuka usaha perkebunan (Masdipura; 2003). Hasil usaha-usaha perdagangan perkebunan ketika itu adalah rotan, karet, dan gambir. Salah satu areal perkebunan karet yang cukup besar saat itu yakni areal di belakang Golden dan Kodim saat ini.

Belanda vs Inggris (1795-1802)

Pada 1795-1802 terjadi peperangan sengit antara Belanda melawan Inggris. Hal ini mengakibatkan terjadi pemindahan pemukiman warga Sampit ke pedalaman, tepatnya ke Kota Besi. Pemindahan itu tak terlepas dari adanya gangguan para bajak laut terhadap desa-desa di muara Sungai Mentaya. Pada 1836, eskader Belanda akhirnya dapat menghancurkan gerombolan bajak laut pimpinan Koewardt yang berkekuatan 25 perahu di sekitar Teluk Kumai dan Tanjung Puting. Tokoh bajak laut Koewardt akhirnya tewas dan dikuburkan di sekitar Ujung Pandaran. Hingga kini, Kuburannya itu dianggap keramat oleh masyarakat setempat.

Kerajaan Sungai Sampit

Versi lain, menurut legenda rakyat setempat yang masih hidup kini, bahwa Sampit pada masa itu berbentuk sebuah kerajaan bernama Kerajaan Sungai Sampit dan diperintah oleh Raja Bungsu. Sang baginda memiliki dua putra masing-masing Lumuh Sampit (laki-laki) dan Lumuh Langgana (perempuan). Diceritakan, kerajaan Sungai Sampit akhirnya musnah akibat perebutan kekuasaan antara saudara kandung tersebut.

Lokasi kerajaan

Lokasi kerajaan Sungai Sampit ini diperkirakan sekitar perusahaan PT Indo Belambit sekarang (Desa Bagendang Hilir). Beberapa tahun lampau, tiang bendera kapal bekas kerajaan yang terbuat dari kayu ulin besar masih ada dan terkubur lumpur di bawah dermaga PT Indo Belambit tersebut. Bukti-bukti lain yang menguatkan dugaan ini,bahwa di lokasi tersebut pernah pula ditemukan pecahan keramik takala dilakukan penggalian alur parit. Bukti ini kian menguatkan dugaan bahwa di lokasi ini pernah ada Kerajaan Sungai Sampit yang pada masa itu sudah mengadakan kontak dagang dengan bangsa-bangsa luar seperti dari Tiongkok, India bahkan Portugis.

 

 

 

 


 


 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Indonesia

Tarian Tradisional Indonesia ~ Indonesian Traditional Dance

Daftar Makanan Khas Tradisional